pasains

Situs ini ada sejak Desember 04, yang merupakan jawaban atas perkembangan teknologi & informasi kepencintaalaman. Internet sebagai wahana yang tak terikat batasan ruang, waktu dan batas negara, telah menjamah berbagai bidang kehidupan termasuk dunia kepencintaalaman. Internet menjadi pilihan PASAINS dalam penyampaian informasi tentang selukbeluk dunia kepencintaalaman.

Wednesday, August 30, 2006

MOUNTAINEERING

I. PENDAHULUAN

Aktivitas mendaki gunung akhir-akhir ini nampaknya bukan lagi merupakan suatu kegiatan yang langka, artinya tidak lagi hanya dilakukan oleh orang tertentu (yang menamakan diri sebagai kelompok Pencinta Alam, Penjelajah Alam dan semacamnya). Melainkan telah dilakukan oleh orang-orang dari kalangan umum. Namun demiukian bukanlah berarti kita bisa menganggap bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan aktivitas mendaki gunung, menjaadi bidang ketrampilan yang mudah dan tidak memiliki dasar pengetahuan teoritis. Didalam pendakian suatu gunung banyak hal-hal yang harus kita ketahui (sebagai seorang pencinta alam) yang berupa : aturan-aturan pendakian, perlengkapan pendakian, persiapan, cara-cara yang baik, untuk mendaki gunung dan lain-lain. Segalanya inilah yang tercakup dalam bidang Mountaineering. Mendaki gunung dalam pengertian Mountaineering terdiri dari tiga tahap kegiatan, yaitu :

1. Berjalan (Hill Walking)
Secara khusus kegiatan ini disebut mendaki gunung. Hill Walking adalah kegiatan yang paling banyak dilakukan di Indonesia. Kebanyakan gunung di Indonesia memang hanya memungkinkan berkembangnya tahap ini. Disini aspek yang lebih menonjol adalah daya tarik dari alam yang dijelajahi (nature interested)
2. Memanjat (Rock Climbing)
Walaupun kegiatan ini terpaksa harus memisahkan diri dari Mountaineering, namun ia tetap merupakan cabang darinya. Perkembangan yang pesat telah melahirkan banyak metode-metode pemanjatan tebing yang ternyata perlu untuk diperdalam secara khusus. Namun prinsipnya dengan tiga titik dan berat dan kaki yang berhenti, tangan hanya memberi pertolongan.
3. Mendaki gunung es (Ice & Snow Climbing)
Kedua jenis kegiatan ini dapat dipisahkan satu sama lain. Ice Climbing adalah cara-cara pendakian tebing/gunung es, sedangkan Snow Climbing adalah teknik-teknik pendakian tebing gunung salju.
Dalam ketiga macam kegiatan di atas tentu didalamnya telah mencakup : Mountcamping, Mount Resque, Navigasi medan dan peta, PPPK pegunungan, teknik-teknik Rock Climbing dan lain-lain.

II. PERSIAPAN MENDAKI GUNUNG

1. Pengenalan Medan
Untuk menguasai medan dan memperhitungkan bahaya obyek seorang pendaki harus menguasai menguasai pengetahuan medan, yaitu membaca peta, menggunakan kompas serta altimeter.
Mengetahui perubahan cuaca atau iklim. Cara lain untuk mengetahui medan yang akan dihadapi adalah dengan bertanya dengan orang-orang yang pernah mendaki gunung tersebut. Tetapi cara yang terbaik adalah mengikut sertakan orang yang pernah mendaki gunung tersebut bersama kita.
2. Persiapan Fisik
Persiapan fisik bagi pendaki gunung terutama mencakup tenaga aerobic dan kelenturan otot. Kesegaran jasmani akan mempengaruhi transport oksigen melelui peredaran darah ke otot-otot badan, dan ini penting karena semakin tinggi suatu daerah semakin rendah kadar oksigennya.
3. Persiapan Tim
Menentukan anggota tim dan membagi tugas serta mengelompokkannya dan merencanakan semua yang berkaitan dengan pendakian.
4. Perbekalan dan Peralatan
Persiapan perlengkapan merupakan awal pendakian gunung itu sendiri. Perlengkapan mendaki gunung umumnya mahal, tetapi ini wajar karena ini merupakan pelindung keselamatan pendaki itu sendiri. Gunung merupakan lingkungan yang asing bagi organ tubuh kita yang terbiasa hidup di daerah yang lebih rendah. Karena itu diperlukan perlengkapan yang memadai agar pendaki mampu menyesuaikan di ketinggian yang baru itu. Seperti sepatu, ransel, pakaian, tenda, perlengkapan tidur, perlengkapan masak, makanan, obat-obatan dan lain-lain.

III. BAHAYA DI GUNUNG

Dalam olahraga mendaki gunung ada dua faktor yang mempengaruhi berhasil tidaknya suatu pendakian.

1. Faktor Internal
Yaitu faktor yang datang dari si pendaki sendiri. Apabila faktor ini tidak dipersiapkan dengan baik akan mendatangkan bahaya subyek yaitu karena persiapan yang kurang baik, baik persiapan fisik, perlengkapan, pengetahuan, ketrampilan dan mental.
2. Faktor Eksternal
Yaitu faktor yang datang dari luar si pendaki. Bahaya ini datang dari obyek pendakiannya (gunung), sehingga secara teknik disebut bahaya obyek. Bahaya ini dapat berupa badai, hujan, udara dingin, longsoran hutan lebat dan lain-lain.
Kecelakaan yang terjadi di gunung-gunung Indonesia umumnya disebabkan faktor intern. Rasa keingintahuan dan rasa suka yang berlebihan dan dorongan hati untuk pegang peranan, penyakit, ingin dihormati oleh semua orang serta keterbatasan-keterbatasan pada diri kita sendiri.

IV. LANGKAH-LANGKAH DAN PROSEDUR PENDAKIAN

Umumnya langkah-langkah yang biasa dilakukan oleh kelompok-kelompok pencinta alam dalam suatu kegiatan pendakian gunung meliputi tiga langkah, yaitu :

1. Persiapan
Yang dimaksud persiapan pendakian gunung adalah :
  • Menentukan pengurus panitia pendakian, yang akan bekerja mengurus : Perijinan pendakian, perhitungan anggaran biaya, penentuan jadwal pendakian, persiapan perlengkapan/transportasi dan segala macam urusan lainnya yang berkaitan dengan pendakian.
  • Persiapan fisik dan mental anggota pendaki, ini biasanya dilakukan dengan berolahraga secara rutin untuk mengoptimalkan kondisi fisik serta memeksimalkan ketahanan nafas. Persiapan mental dapat dilakukan dengan mencari/mempelajari kemungkinan-kemungkinan yang tak terduga timbul dalam pendakian beserta cara-cara pencegahan/pemecahannya.
2. Pelaksanaan
Bila ingin mendaki gunung yang belum pernah didaki sebelumnya disarankan membawa guide/penunjuk jalan atau paling tidak seseorang yang telah pernah mendaki gunung tersebut, atau bisa juga dilakukan dengan pengetahuan membaca jalur pendakian. Untuk memudahkan koordinasi, semua peserta pendakian dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu :
- Kelompok pelopor
- Kelompok inti
- Kelompok penyapu
Masing-masing kelompok, ditunjuk penanggungjawabnya oleh komandan lapangan (penanggungjawab koordinasi).
Daftarkan kelompok anda pada buku pendakian yang tersedia di setiap base camp pendakian, biasanya menghubungi anggota SAR atau juru kunci gunung tersebut.
Didalam perjalanan posisi kelompok diusahakan tetap yaitu : Pelopor di depan (disertai guide), kelompok initi di tengah, dan team penyapu di belakang. Jangan sesekali merasa segan untuk menegur peserta yang melanggar peraturan ini.
Demikian juga saat penurunan, posisi semula diusahakan tetap. Setelah tiba di puncak dan di base camp jangan lupa mengecek jumlah peserta, siapa tahu ada yang tertinggal.
3. Evaluasi
Biasakanlah melakukan evaluasi dari setiap kegiatan yang anda lakukan, karena dengan evaluasi kita akan tahu kekurangan dan kelemahan yang kita lakukan. Ini menuju perbaikan dan kebaikan (vivat et floreat).
V. FISIOLOGI TUBUH DI PEGUNUNGAN

Mendaki gunung adalah perjuangan, perjuangan manusia melawan ketinggian dan segala konsekuensinya. Dengan berubahnya ketinggian tempat, maka kondisi lingkungan pun jelas akan berubah. Anasir lingkungan yang perubahannya tampak jelas bila dikaitkan dengan ketinggian adalah suhu dan kandungan oksigen udara. Semakin bertambah ketinggian maka suhu akan semakin turun dan kandungan oksigen udara juga semakin berkurang.
Fenomena alam seperti ini beserta konsekuensinya terhadap keselamatan jiwa kita, itulah yang teramat penting kita ketahui dalam mempelajari proses fisiologi tubuh di daerah ketinggian. Banyak kecelakaan terjadi di pegunungan akibat kurang pengetahuan, hampa pengalaman dan kurang lengkapnya sarana penyelamat.

1. Konsekuensi Penurunan Suhu
Manusia termasuk organisme berdarah panas (poikiloterm), dengan demikian manusia memiliki suatu mekanisme thermoreguler untuk mempertahankan kondisi suhu tubuh terhadap perubahan suhu lingkungannya. Namun suhu yang terlalu ekstrim dapat membahayakan. Jika tubuh berada dalam kondisi suhu yang rendah, maka tubuh akan terangsang untuk meningkatkan metabolisme untuk mempertahankan suhu tubuh internal (mis : dengan menggigil). Untuk mengimbangi peningkatan metabolisme kita perlu banyak makan, karena makanan yang kita makan itulah yang menjadi sumber energi dan tenaga yang dihasilkan lewat oksidasi.
2. Konsekuensi Penurunan Jumlah Oksigen
Oksigen bagi tubuh organisme aerob adalah menjadi suatu konsumsi vital untuk menjamin kelangsungan proses-proses biokimia dalam tubuh, konsumsi dalam tubuh biasanya sangat erat hubungannya dengan jumlah sel darah merah dari konsentrasi haemoglobin dalam darah. Semakin tinggi jumlah darah merah dan konsentrasi Haemoglobin, maka kapasitas oksigen respirasi akan meningkat. Oleh karena itu untuk mengatasi kekurangan oksigen di ketinggian, kita perlu mengadakan latihan aerobic, karena disamping memperlancar peredaran darah, latihan ini juga merangsang memacu sintesis sel-sel darah merah.
3. Kesegaran Jasmani
Kesegaran jasmani adalah syarat utama dalam pendakian. Komponen terpenting yang ditinjau dari sudut faal olahraga adalah system kardiovaskulare dan neuromusculare.
Seorang pendaki gunung pada ketinggian tertentu akan mengalami hal-hal yang kurang enak, yang disebabkan oleh hipoksea (kekurangan oksigen), ini disebut penyakit gunung (mountain sickness). Kapasitas kerja fisik akan menurun secara menyolok pada ketinggian 2000 meter, sementara kapasitas kerja aerobic akan menurun (dengan membawa beban 15 Kg) dan juga derajat aklimasi tubuh akan lambat.
Mountain sickness ditandai dengan timbulnya gejala-gejala :
  • Merasakan sakit kepala atau pusing-pusing
  • Sukar atau tidak dapat tidur
  • Kehilangan control emosi atau lekas marah
  • Bernafas agak berat/susah
  • Sering terjadi penyimpangan interpretasi/keinginannya aneh-aneh, bersikap semaunya dan bisa mengarah kepenyimpangan mental.
  • Biasanya terasa mual bahkan kadang-kadang sampai muntah, bila ini terjadi maka orang ini harus segera ditolong dengan memberi makanan/minuman untuk mencegah kekosongan perut.
  • Gejala-gejala ini biasanya akan lebih parah di pagi hari, dan akan mencapai puncaknya pada hari kedua.
Apabila diantara peserta pendakian mengalami gejala ini, maka perlu secara dini ditangani/diberi obat penenang atau dicegah untuk naik lebih tinggi. Bilamana sudah terlanjur parah dengan emosi dan kelakuan yang aneh-aneh serta tidak peduli lagi nasehat (keras kepala), maka jalan terbaik adalah membuatnya pingsan.
Pada ketinggian lebih dari 3000 m.dpl, hipoksea cerebral dapat menyebabkan kemampuan untuk mengambil keputusan dan penalarannya menurun. Dapat pula timbul rasa percaya diri yang keliru, pengurangan ketajaman penglihtan dan gangguan pada koordinasi gerak lengan dan kaki. Pada ketinggian 5000 m, hipoksea semakin nyata dan pada ketinggian 6000 m kesadarannya dapat hilang sama sekali.
4. Program Aerobik
Program/latihan ini merupakan dasar yang perlu mendapatkan kapasitas fisik yang maksimum pada daerah ketinggian. Kapasitas kerja fisik seseorang berkaitan dengan kelancaran transportasi oksigen dalam tubuh selai respirasi.
Kebiasaan melakukan latihan aerobic secara teratur, dapat menambah kelancaran peredaran darah dalam tubuh, memperbanyak jumlah pembuluh darah yang mrmasuki jaringan, memperbanyak sintesis darah merah, menambah kandungan jumlah haemoglobin darah dan juga menjaga optimalisasi kerja jantung. Dengan terpenuhinya hal-hal tersebut di atas, maka mekanisme pengiriman oksigen melalui pembuluh darah ke sel-sel yang membutuhkan lebih terjamin.
Untuk persiapan/latihan aerobic ini biasanya harus diintensifkan selama dua bulan sebelumnya. Latihan yang teratur ternyata juga dapat meningkatkan kekuatan (endurance) dan kelenturan (fleksibility) otot, peningkatan kepercayaan diri (mental), keteguhan hati serta kemauan yang keras. Didalam latihan diusahakan denyut nadi mencapai 80% dari denyut nadi maksimal, biasanya baru tercapai setelah lari selama 20 menit. Seorang yang dapat dikatakan tinggi kesegaran aerobiknya apabila ia dapat menggunakan minimal oksigen per menit per Kg berat badan. Yang tentunya disesuaikan dengan usia latihan kekuatan juga digunakan untuk menjaga daya tahan yang maksimal, dan gerakan yang luwes. Ini biasanya dengan latihan beban, Untuk baiknya dilakukan aerobic 25-50 menit setiap harinya.

VI. PENGETAHUAN DASAR BAGI MOUNTAINEER

1. Orientasi Medan
A. Menentukan arah perjalanan dan posisi pada peta
  • Dengan dua titik di medan yang dapat diidentifikasikan pada gambar di peta. Dengan menggunakan perhitungan teknik/azimuth, tariklah garis pada kedua titik diidentifikasi tersebut di dalam peta. Garis perpotongan satu titik yaitu posisi kita pada peta.
  • Bila diketahui satu titik identifikasi. Ada beberapa cara yang dapar dicapai :
  1. Kalau kita berada di jalan setapak atau sungai yang tertera pada peta, maka perpotongan garis yang ditarik dari titik identifikasi dengan jalan setapak atau sungai adalah kedudukan kita.
  2. Menggunakan altimeter. Perpotongan antara garis yang ditarik dari titik identifikasi dengan kontur pada titik ketinggian sesuai dengan angka pada altimeter adalah kedudukan kita.
  3. Dilakukan secara kira-kira saja. Apabila kita sedang mendaki gunung, kemudian titik yang berhasil yang diperoleh adalah puncaknya, maka tarik garis dari titik identifikasi itu, lalu perkirakanlah berapa bagian dari gunung itu yang telah kita daki.
B. Menggunakan kompas
Untuk membaca peta sangat dibutuhkan banyak bermacam kompas yang dapat dipakai dalam satu perjalanan atau pendakian, yaitu tipe silva, prisma dan lensa.
C. Peka dalam perjalanan
Dengan mempelajari peta, kita dapat membayangkan kira-kira medan yang akan dilaui atau dijelajahi. Penggunaan peta dan kompas memang ideal, tetapi sering dalam praktek sangat sukar dalam menerapkannya di gunung-gunung di Indonesia. Hutan yang sangat lebat atau kabut yang sangat tebal acap kali menyulitkan orientasi. Penanggulangan dari kemungkinan ini seharusnya dimulai dari awal perjalanan, yaitu dengan mengetahui dan mengenali secara teliti tempat pertama yang menjadi awal perjalanan.
Gerak yang teliti dan cermat sangat dibutuhkan dalam situasi seperi di atas. Ada baiknya tanda alam sepanjang jalan yang kita lalui diperhatikan dan dihafal, mungkin akan sangat bermanfaat kalau kita kehilangan arah dan terpaksa kembali ketempat semula.
Dari pengalaman terutama di hutan dan di gunung tropis kepekaan terhadap lingkungan alam yang dilalui lebih menentukan dari pada kita mengandalkan alat-alat seperti kompas tersebut. Hanya sering dengan berlatih dan melakukan perjalanan kepekaan itu bisa diperoleh.
2. Membaca Keadaan Alam
A. Keadaan udara
  • Sinar merah pada waktu Matahari akan terbenam. Sinar merah pada langit yang tidak berawan mengakibatkan esok harinya cuaca baik. Sinar merah pada waktu Matahari terbit sering mengakibatkan hari tetap bercuaca buruk.
  • Perbedaan yang besar antara temperature siang hari dan malam hari. Apabila tidak angin gunung atau angin lembab atau pagi-pagi berhembus angina panas, maka diramalkan adanya udara yang buruk. Hal ini berlaku sebaliknya.
  • Awan putih berbentuk seperti bulu kambing. Apabila awan ini hilang atau hanya lewat saja berarti cuaca baik. Sebaliknya apabila awan ini berkelompok seperti selimut putih maka datanglah cuaca buruk.
B. Membaca sandi-sandi yang diterapkan di alam, menggunakan bahan-bahan dari alam, seperti :
- Sandi dari batu yang dijejer atau ditumpuk
- Sandi dari batang/ranting yang dipatahkan/dibengkokkan
- Sandi dari rumput/semak yang diikat

Tujuan dari penggunaan sandi-sandi ini apabila kita kehilangan arah dan perlu kembali ke tempat semula atau pulang.

3. Tingkatan Pendakian gunung
Agar setiap orang mengetahui apakah lintasan yang akan ditempuhnya sulit atau mudah, maka dalam olahraga mendaki gunung dibuat penggolongan tingkat kesulitan setiap medan atau lintasan gunung. Penggolongan ini tergantung pada karakter tebing atau gunungnya, temperamen dan penampilan fisik si pendaki, cuaca, kuat dan rapuhnya batuan di tebing, dan macam-macam variabel lainnya.

Kelas 1 : Berjalan. Tidak memerlukan peralatan dan teknik khusus.

Kelas 2 : Merangkak (scrambling). Dianjurkan untuk memakai sepatu yang layak. Penggunaan tangan mungkin diperlukan untuk membantu.

Kelas 3 : Memanjat (climbing). Tali diperlukan bagi pendaki yang belum berpengalaman.

Kelas 4 : Memanjat dengan tali dan belaying. Anchor untuk belaying mungkin diperlukan.

Kelas 5 : Memanjat bebas dengan penggunaan tali belaying dan runner. Kelas ini dibagi lagi menjadi 13 tingkatan.

Kelas 6 : Pemanjatan artificial. Tali dan anchor digunakan untuk gerakan naik. Kelas ini sering disebut kelas A. Selanjutnya dibagi dalam 5 tingkatan.

MERBABU, Jawa Tengah

Keterangan Umum
Nama : Merbabu
Nama Lain : Merbaboe
Lokasi : Koordinat/ Geografi : 7°8' - 7°35'27" LS dan 110°1' - 110°26' BT
Posisi Puncak : 7°27' LS dan 110°25' BT
Ketinggian : a. 3145 m dari muka air laut
b. 2710 m dari dataran tinggi Magelang
Kota Terdekat : Magelang, Salatiga dan Boyolali (merupakan ibu Kota Kabupaten).
Tipe Gunungapi : A (aktip), gunungapi strato volkano (gunungapi berlapis antara batuan lava dengan batuan piroklastika)

Pendahuluan
Cara Pencapaian : Pendakian untuk mencapai puncaknya paling mudah dapat dicapai dari daerah utara (Salatiga) Kopeng, Desa Sidomukti (menurut pengalaman para pendaki dan pencinta alam).

Demografi Gunungapi Merbabu
Kota terdekat adalah Magelang (selatan), Salatiga (utara-timurlaut) dan Boyolali (barat-baratdaya) (kota-kota tersebut merupakan Ibukota Kabupaten)
Sebagian besar penduduk bermukim di kota besar, kecamatan dan tersebar di pedesaan yang termasuk wilayah tiga Kabupaten tersebut. Banyaknya penduduk yang bermukim di sekitar gunungapi tersebut berkaitan dengan kondisi morfologi,, potensi alam seperti wisata, perkebunan dan kesuburan tanah.

Perkembangan penduduk dari waktu ke waktu, umumnya diikuti oleh pendatang, perkembangan pemukiman di daerah bersangkutan sehingga mengakibatkan kepadatan penduduk meningkat dengan pesat.

Di antara kota-kota di sekitarnya Megelang, Salatiga dan Boyolali selain merupakan ibu kota Kabupaten dengan penduduk terbanyak, juga merupakan kota pendidikan militer (AKMIL), Salatiga untuk tujuan wisata dan Boyolali juga merupakan kota transit.


Inventarisasi Sumberdaya Gunungapi
Sumber daya alam komplek gunungapi Merbabu terdiri dari bahan galian berupa batu pecah, pasir sebagai bahan bangunan dan batu belah bahan untuk batu tempel dinding, dari aliran lava dan sedikit belerang yang terdapat pada sublimasi solfatara dan fumarola dikawahnya.

Wisata
Komplek Gunungapi Merbabu tidak hanya dikenal dengan kesuburan tanahnya, tetapi dikenal juga dengan potensi wisatanya, diantaranya panorama alam yang indah dengan ketinggian, serta kesejukan udaranya, membuat para wisatawan baik domestik maupun manca negara menikmatinya, selain itu juga lahan pertanian yang sangat menarik bagi wisatawan.

SEJARAH LETUSAN

Menurut catatan sejarah letusannya, gunungapi Merbabu ini mengalami hanya satu kali erupsi sejak Tahun 1600, yakni pada 1797. Letusan tersebut tidak banyak diketahui oleh para ahli waktu itu (tidak ada laporan terinci mengenai kegiatan letusannya). Letusannya diperkirakan dengan letusan central yang bersifat explosif (Tom Simkin dan Lee Siebert, 1994).

Karakter Letusan : Dominan explosifnya berupa aliran dan jatuhan piroklastika, berselang seling efusiva lava.
Perioda Letusan : Belum diketahui secara rinci, oleh karena terbatasnya data-data literatur, maupun laporan-laporan terdahulu.

GEOLOGI

Bentuk dan struktur Gunungapi Merbabu, bentuknya besar sekali jika dibandingkan dengan gunung Merapi yang sangat ramping yang tampaknya merupakan suatu gunungapi yang tumbuhnya berlebihan. Bagian puncaknya dapat dibagi menjadi tiga satuan yang merupakan sektor Graben Gunungapi, yakni :

a. Graben Sari dengan arah timur tenggara – barat baratlaut.
b. Graben Guyangan dengan arah selatan baratdaya – utara timur.
c. Graben Sipendok dengan arah barat laut – timur tenggara.

Erupsi samping gunungapi Merbabu banyak menghasilkan aliran lava dan aliran piroklastik, aliran lava tersebut mengalir melalui titik erupsi yang diselimuti oleh endapan piroklastika baik aliran maupun jatuhan. Titik-titik erupsi tersebut diperkirakan melalui jalur sesar dengan arah utara baratlaut – selatan tenggara serta melalui daerah puncak.
Morfologi gunungapi Merbabu dapat dibagi menjadi beberapa satuan berdasarkan penampilan bentuk rupa bumi pada peta topografi (Hamidi.S dkk 1988) masing-masing :
  1. Satuan morfologi sisa graben (daerah sekitar puncak), satuan morfologi ini terdiri dari 3(tiga) bagian yakni Graben Sari, Graben Guyangan dan Graben Sipendok. Ketiga graben tersebut diperkirakan adalah hasil kegiatan volkano tektonik dimana kegiatan tektonik berupa sesar di-ikuti oleh kegiatan erupsi dan kemudian di-ikuti pula oleh kegiatan erupsi samping yang membentuk kerucut erupsi samping.
  2. Satuan morfologi aliran lava Kopeng, satuan morfologi aliran lava ini jelas dapat dilihat di lapangan yang membentuk punggung lava yang sangat menonjol, dimana batuan yang mengalasi berupa aliran lava.
  3. Satuan morfologi Kerucut Watutulis,Satuan morfologi ini merupakan kerucut erupsi samping (flank eruption) yang banyak menghasilkan aliran lava yang bersifat andesitis – basaltis dan piroklastika, baik aliran maupun jatuhan.
  4. Satuan morfologi Kerucut Gunung Pregodalem, keadaan satuan ini sama dengan satuan morfologi kerucut Gunung Watutulis, dimana kerucut ini dapat dipertimbangkan sebagai sumber bahaya apabila terjadi peningkatan letusan.
  5. Satuan morofologi titik-titik erupsi samping, satuan morfologi ini sangat banyak terdapat didaerah gunung Merbabu, berdasarkan peta rupa bumi daerah yang terkait, satuan morfologi ini membentuk suatu kelurusan rupa bumi yang ber-arah utara baratlaut – timur tenggara, bentuk kelurusan rupa bumi ini dapat mencerminkan adanya bentuk struktur sesar yang melalui daerah puncak gunungapi Merbabu.
Stratigrafi gunungapi Merbabu, sifat letusan dari pada gunungapi ini diantaranya adalah eksplosif, disamping itu bersamaan dengan sifat efusif yang dapat dibuktikan dengan adanya aliran lava, baik yang berasal dari pada kegiatan erupsi pusat maupun erupsi samping. Sifat eksplosif dapat dibuktikan dari banyaknya endapan piroklastika yang tebal. Secara umum gunungapi Merbabu terdiri atas aliran piroklastika, aliran lava, endapan banjir bandang pada Th 1985 dan endapan longsoran (Hamidi,1988)
  1. Aliran piroklastika, ini menyebar di seluruh bagian tubuh gunungapi Merbabu, sifat singkapan tertentu dengan warna abu-abu ke-kuningan, berbutir halus hingga kasar, kadang kala ditemukan lapisan semu (“surge”), lokasi singkapan dapat dilihat di sekitar Jrakah ditemukan lapisan sebanyak lebih dari 12 lapisan piroklastika aliran dengan tanah hasil pelapukan yang sangat tebal.
  2. Aliran lava, gunungapi Merbabu secara umum mengisi bagian lembah sungai yang terdapat di sekitar gunungapi tersebut, ber-umur paling muda menurut urutan umur stratigrafi. Akan tetapi di daerah Selo Redjo ditemukan aliran lava tua dengan sifat pelapukan yang sudah lanjut. Di daerah Kopeng aliran lava membentuk suatu pematang aliran lava yang sangat tinggi dan membentuk lidah lava.
  3. Endapan banjir bandang di daerah gunungapi Merbabu di temukan didaerah Kaponan, pada dasar sungai Soting, dimana menurut keterangan penduduk setempat pada Th.1985 telah terjadi banjir bandang yang telah merusak jembatan penghubung antara Kaponan dengan daerah lainnya, sifat endapan banjir bandang ini seperti endapan sungai, terdiri dari bongkah-bongkah lava andesitis sampai basaltis, pasir sangat kasar, masih segar dan mudah lepas.
  4. Endapan longsoran (debris avalanche) dapat ditemukan didaerah Salatiga, dimana bukaan yang sangat besar dengan arah ke utara – timurlaut, yakni daerah wilayah Salatiga.

Peneliti Terdahulu
Beberapa peneliti terdahulu diantaranya adalah Junghun pada Tahun 1850 dan Verbeek & Fennema pada Tahun 1896. Menurut Verbeek & Fennema Th.1896, telah menemukan hasil erupsi berupa lava basaltis yang mengalir dalam sungai-sungai kecil diantara Boyolali dan Selo. Van Bemmelen, R.W. 1941, telah memetakan daerah G. Merbabu serta membagi beberapa satuan batuan hingga menjadi 9 (sembilan satuan) diantaranya:

1. Kerucut Merbabu (terutama lava basaltis andesitis dan breksi).
2. Dataran tinggi Kopeng yang diselimuti oleh lapisan abu.
3. Kaki kerucut Merbabu (terutama breksi lahar dan lava)
4. Aliran lava muda kerucut Merbabu (erupsi samping)
5. Kaki utara Merapi diselimuti oleh abu G.Merapi
6. Kawah (erupsi samping)
7. Erupsi pusat berupa aliran lava muda
8. Mofet dan solfatara di gunungapi Merbabu.
9. Sisa struktur volkano – tektonik (sektor graben)

Penelitian yang dilakukan oleh Neuman van Padang 1951, telah menemukan bahwa gunungapi tersebut telah mengeluarkan basalt olivin augit, andesit augit dan andesit hornblende hiperstein augit.

Demikian pula menurut Mac Donald 1972, melaporkan bahwa pada th.1797, gunungapi Merbabu meletus melalui erupsi samping dan erupsi pusat, namun tidak dilaporkan bahwa hasil erupsi yang telah dikeluarkan serta kerusakan dan korban akibat kegiatan erupsi tersebut.

GEOKIMIA

Jenis Batuan : Menurut Neuman van Padang 1951, batuan yang dihasilkan oleh Gunungapi Merbabu adalah ; Basalt olivin augit, Andesit augit dan Andesit hornblende hiperstein augit.

MITIGASI BENCANA GUNUNGAPI

Pemantauan aktivitas gunungapi Merbabu dilakukan secara Visual dari Pos Pengamatan yang terdekat (G.Merapi). Daerah Bahaya Gunungapi Merbabu yang dilakukan oleh Hamidi.S dkk, 1988, dapat dibagi menjadi 3(tiga) kategori, diantaranya adalah :
  1. Daerah Bahaya Primer, daerah bahaya ini meliputi daerah puncak dan sekitarnya dengan radius sekitar 4-5 Km dari titik pusat erupsi, selain itu mempertimbangkan pula adanya titik-titik erupsi samping yang menempati zona pelurusan topografi dengan arah baratlaut – tenggara. Daerah yang termasuk kedalam daerah bahaya primer ini tidak selayaknya untuk dikembangkan apabila kegiatan gunungapi Merbabu menunjukkan peningkatan kegiatan yang nyata, baik erupsi normal atapun erupsi samping.
  2. Daerah Bahaya Lontaran, dapat dibagi menjadi 2(dua) bagian masing-masing berbentuk lingkaran yang mempunyai radius antara 5 dan 6 Km dari titik erupsi (puncak), daerah ini kemungkinan besar dilanda oleh bahan-bahan jatuhan piroklastika (efflata maupun tefra), daerah ini dapat juga disebut sebagai daerah Waspada terhadap lontaran. Bahaya yang mungkin melanda daerah waspada terhadap lontaran ini tidak bergantung pada topografi, sehingga apabila terjadi kegiatan gunungapi yang berupa letusan yang menghasilkan jatuhan piroklastika, tindakan yang tepat adalah mencari perlindungan yang kuat atau meninggalkan tempat pemukimannya.
  3. Daerah Bahaya Sekunder, daerah bahaya ini kemungkinan dilanda oleh lahar hujan. Daerah ini meliputi morfologi rendah yang memungkinkan untuk dilanda oleh aliran lahar sekunder, sehingga daerah bahayanyapun terdapat disekitar daerah aliran sungai yang berhulu dari daerah puncak gunungapi Merbabu.